Agar
umat muslim tidak terjebak dalam jurang kenistaan, kiranya kita patut untuk
mencermati dan merenungkan satu perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA berikut ini:
لَوْلاَ
خَمْسَ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَالِحِيْنَ. اَوَّلُهَا اَلْقَنَاعَة
ُبِالجَهْلِ، وَالْحِرْصُ عَلَى الدُّنْيَا، وَالشُّحُّ بِالْفَضْلِ، وَالرِّياَءِ
فِي الْعَمَلِ، وَالإِعْجَابُ بِالرّأْيِ.
Andaikan
tidak ada lima hal
ini, tentu seluruh umat manusia menjadi orang saleh. Pertama, merasa senang dengan kebodohan. Kedua, tamak terhadap dunia. Ketiga, bakhil meskipun
memiliki kelebihan harta. Keempat, riya’ dalam beramal. Kelima, membanggakan pendapat
pribadi.
Pertama, merasa senang dengan kebodohan. Maksudnya
acuh tak acuh bahkan merasa nyaman dengan
ketidaktahuan tentang masalah-masalah agama. Sebagaimana fenomena yang marak
terjadi di tengah-tengah kita saat ini, yaitu banyak umat muslim yang setiap
harinya disibukkan dengan urusan bisnis dan bermacam-macam pekerjaan demi
mencapai cita-citanya. Sedangkan menyangkut masalah-masalah agama, mereka
merasa cukup dipasrahkan kepada para ustadz atau ulama yang dapat dipanggil sewaktu-waktu
dibutuhkan. Entah diminta untuk memimpin doa, ditanya tentang hukum-hukum agama
ataupun sekedar dijadikan teman curhat terkait masalah pribadi.
Fenomena
di atas terjadi karena dalam diri umat muslim tidak lagi terbersit keinginan belajar dengan
sungguh-sungguh tentang Islam
dan bagaimana seharusnya menjadi muslim yang baik. Mereka sudah puas dengan
pengetahuan keIslaman yang diperoleh dari teman ataupun dari hasil meniru tetangga. Memang yang demikian itu
tidak salah, akan tetapi semua itu menunjukkan ketidakseriusan mereka terhadap
masalah-masalah agama. Mereka cenderung lebih serius terhadap masalah-masalah
non keIslaman hingga sibuk mengurusi berbagai urusan duniawi. Bagi mereka yang memiliki karakteristik seperti itu, seyogyanya berkenan untuk merenungkan pesan Rasulullah SAW:
اللهُ يَبْغَضُ كُلَّ عَالِمٍ
بِالدُّنْيَا جَاهِلٍ بِاْلأَخِرَةِ. (رَوَاهُ الْحَاكِمُ)
Allah membenci orang yang pandai dalam
urusan dunia, tetapi bodoh dalam urusan akhirat. (H.R. al-Hakim)
Kedua, tamak terhadap
dunia. Ketiga, bakhil meskipun memiliki kelebihan harta. Sikap tamak dan bakhil merupakan pasangan
yang selalu terkait bagaikan dua sisi mata uang. Karena siapapun yang memiliki
sifat tamak, dia akan senantiasa merasa kurang meskipun dia memiliki kelebihan
harta. Efek berikutnya
adalah dia akan berlaku bakhil,
karena merasa sangat sayang terhadap
harta bendanya, sehingga khawatir berkurang jika didermakan.
Dalam suatu kesempaatan, Rasulullah SAW
pernah menyinggung ketamakan. Beliau bersabda bahwa mencintai harta adalah
sumber segala kecelakaan dan keburukan. Baik keburukan fisik maupun mental. Hadis
ini dapat menjadi pelajaran bagi kita, betapa kecintaan dan ketamakan terhadap dunia
selalu mendatangkan petaka kepada pelakunya. Contoh kongkretnya adalah petaka
mental yang merusak negeri ini bentuk korupsi, kolusi, dusta demi citra diri,
dan sikap-sikap negatif lain yang disebabkan oleh sifat tamak terhadap dunia.
Untuk mengurangi sifat tamak dan
bakhil, marilah kita simak sabda Rasulullah SAW:
الزُّهْدُ
فِي الدُّنْيَا يُرِيْحُ الْقَلْبَ وَالبَدَنَ، وَالرُّغْبَةُ فِيْهَا تُتْعِبُ
اْلقَلبَ وَاْلبَدَنَ. (رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ).
Zuhud terhadap dunia dapat menentramkan
hati dan badan, sedangkan cinta dunia dapat melelahkan hati dan badan. (H.R. al-Thabarani)
Keempat,
Riya’ dalam beramal. Pengertian riya’ di sini adalah
melakukan suatu amal ibadah dengan maksud mendapatkan pujian dari
manusia. Dalam bahasa yang lebih tegas, riya’ adalah mengharapkan penghargaan
duniawi melalui amaliah ukhrawi.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa riya’ adalah syirik kecil, sebagaimana
sabda beliau: “Sesungguhnya hal
yang sangat saya khawatirkan atas diri kalian adalah syirik kecil, yaitu riya” (H.R. Ahmad). Disebut demikian karena
perwujudan riya’ itu sangat samar. Adanya hanya dalam hati, tidak terlihat dalam tindakan anggota badan. Para sufi mengibaratkan samarnya riya’ bagaikan semut
hitam yang merayap di atas batu warna hitam di tengah pekatnya malam. Begitu samarnya riya’ hingga membuat mereka yang terjangkiti sifat ini
seringkali tidak sadar.
Kelima, membanggakan pendapat pribadi. Yaitu merasa bahwa pendapat pribadi atau kelompoknya yang paling
sempurna, sedangkan pendapat orang lain dinilai lebih lemah. Sikap ini dapat
berujung pada lahirnya kesombongan, sedangkan kesombongan itu sendiri merupakan
sifat yang hanya pantas disandang oleh Allah SWT, dan tidak boleh disandang
oleh manusia.
oke gan..keren
BalasHapus